Senin, 13 Agustus 2012

Definisi Geografi Menurut Para Ahli

Jika dilihat dari akar katanya, istilah Geografi berasal dari 2 kata, Geos yang berarti bumi dan Graphien yang artinya gambaran atau pencitraan. Penggabungan 2 kata tersebut menghasilkan arti dari ilmu itu sendiri, yakni ilmu yang mencitrakan atau menggambarkan keadaan bumi. Istilah Geografi sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang yang bernama Eratosthenes. Menurutnya, geografi berasal dari kata Geographika yang berarti tulisan atau deskripsi tentang bumi. Definisi geografi telah banyak dikemukakan oleh para ahli geografi, seperti pada tulisan berikut ini.
  1. Claudius Ptolomaeus: Geografi adalah suatu penyajian melalui peta dari sebagian dan seluruh permukaan bumi.
  2. Karl Ritter (1779-1859): Geografi merupakan suatu studi telaah mengenai bumi sebagai tempat hidup manusia.
  3. John Mackinder (1861-1947): Geografi adalah satu kajian mengenai kaitan antara manusia dengan alam sekitarnya.
  4. Elsworth Huntington (1876-1947): Geografi merupakan suatu studi tentang alam dan persebarannya, melalui relasi antara lingkungan dengan aktivitas atau kualitas manusia.
  5. Von Rithoffen (1905): Geografi adalah studi tentang gejala dan sifat-sifat permukaan bumi serta penduduknya yang disusun berdasarkan letaknya, dan mencoba menjelaskan hubungan timbal balik antara gejala-gejala dan sifat tersebut.
  6. Paul Vidal de La Blace (1915): Geografi adalah studi tentang kualitas negara-negara, dimana penentuan suatu kehidupan tergantung bagaimana manusia mengelola alam ini.
  7. Lobeck (1939): Gegografi adalah suatu studi tentang hubungan-hubungan yang ada antara kehidupan dengan lingkungan fisiknya.
  8. Richard Harstone (1939): Geografi adalah sebuah ilmu yang menampilkan realitas deferensiasi muka bumi seperti apa adanya, tidak hanya dalam arti perbedaan-perbedaan dalam hal tertentu, tetapi juga dalam arti kombinasi keseluruhan fenomena di setiap tempat, yang berbeda dari keadaanya di tempat lain.
  9. Frank Debenham (1950): Geografi adalah ilmu yang bertugas mengadakan penafsiran terhadap persebaran fakta, menemukan hubungan antara kehidupan manusia dengan lingkungan fisik, menjelaskan kekuatan interaksi antara manusia dan alam.
  10. Hartshorne (1950): Geografi adalah ilmu yang berkepentingan untuk memberikan deskripsi yang teliti, beraturan, dan rasional tentang sifat variabel permukaan bumi.
  11. Ullman (1954) : Geografi adalah interaksi antar ruang.
  12. UNESCO (1956) mendifinasikan geografi sebagai:
    1. Suatu agen sintesis
    2. Suatu kajian perhubungan ruang
    3. Sains dalam penggunaan tanah
  13. Alexander (1958): Geografi adalah studi tentang pengaruh lingkungan alam pada aktivitas manusia.
  14. Maurice Le Lannou (1959): Objek studi Geografi adalah kelompok manusia dan organisasinya di muka bumi.
  15. Yeates (1963): Geografi adalah ilmu yang memperhatikan perkembangan rasional dan lokasi dari berbagai sifat yang beraneka ragam di permukaan bumi.
  16. James Fairgrive (1966): Geografi memiliki nilai edukatif yang dapat mendidik manusia untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab terhadap kemajuan-kemajuan dunia. Ia juga berpendapat bahwa peta sangat penting untuk menjawab pertanyaan “dimana” dari berbagai aspek dan gejala geografi.
  17. Strabo (1970): Geografi erat kaitannya dengan faktor lokasi, karakterisitik tertentu, dan hubungan antar wilayah secara keseluruhan. Pendapat ini kemudian disebut Konsep Natural Atrribute of Place.
  18. Paul Claval (1976): Geografi selalu ingin menjelaskan gejala-gejala dari segi hubungan keruangan.
  19. Vernor E. Finch dan Glen Trewartha (1980): Geografi adalah deskripsi dan penjelasan yang menganalisis permukaan bumi dan pandangannya tentang hal yang selalu berubah dan dinamis, tidak statis dan tetap.
  20. Prof. Bintarto (1981): Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di permukaan bumi, baik yang bersifat fisik maupun yang menyangkut kehidupan makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, kelingkungan, dan regional untuk kepentingan program, proses, dan keberhasilan pembangunan.
  21. Hasil seminar dan lokakarya di Semarang (1988): Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan kelingkungan dalam konteks keruangan.
  22. Depdikbud (1989): Geografi merupakan suatu ilmu tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil yang diperoleh dari bumi.
  23. Herioso Setiyono (1996): Geografi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dan merujuk pada pola persebaran horizontal di permukaan bumi.
  24. Bisri Mustofa (2007): Geografi merupakan ilmu yang menguraikan tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna serta basil-basil yang diperoleh dari bumi.
  25. Wikipedia: Geografi adalah ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.
Baca Selengkapnya

Tokoh-tokoh Sosiologi Setelah Comte

Pada entri sebelumnya, saya telah menulis tentang tokoh-tokoh sosiologi sebelum Comte. Sekarang, saya akan menjelaskan tentang tokoh-tokoh sosiologi setelah Comte. Berikut ini adalah mereka.
  1. Karl Marx (1818-1883), telah menggunakan metode-metode sejarah dan filsafat untuk membangun suatu teori tentang perubahan yang menunjukkan perkembangan masyarakat menuju suatu keadaan dimana ada keadilan sosial. Menurut Marx, selama masyarakat masih terbagi atas kelas-kelas, maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan.
  2. Herbert Spencer (1820-1903), adalah orang pertama yang menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Dalam bukunya yang berjudul Principle of Sociology, dia berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap, akan muncul suatu stabilitas yang menuju kepada keadaan hidup yang damai.
  3. Edward Buckle dari Inggris (1821-1862) dan Le Play dari Prancis (1806-1888), dengan hasil karyanya yang berjudul History of Civilization in England (yang tidak selesai), Buckle meneruskan ajaran-ajaran sebelumnya tentang pengaruh keadaan alam terhadap masyarakat.
  4. Gabriel Tarde (1843-1904), mempunyai pandangan awal bahwa gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi antara jiwa-jiwa individu, dimana jiwa tersebut terdiri dari kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan.
  5. Horton Cooley (1846-1924), menganggap bahwa individu dan masyarakat salling melengkapi, dimana individu hanya akan menemukan bentuknya di dalam masyarakat.
  6. Emile Durkheim (1855-1917), dalam karyanya yang berjudul Division of Labor, Durkheim menyatakan bahwa unsur baku dalam masyarakat adalah faktor solidaritas. Sedangkan hukum menurut Durkheim adalah kaidah-kaidah yang bersanksi yang berat-ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, angapan-anggapan, serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan. Selanjutnya Durkheim berpendapat bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif.
  7. Ferdinand Tonnies dari jerman (1855-1936), berpendapat bahwa dasar hubungan kehidupan sosial di suatu pihak adalah faktor perasaan, simpati pribadi, dan kepentingan bersama.
  8. Georg Simmel (1858-1918), berpendapat bahwa elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk ynang mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Bentuk-bentuk tadi sebenarnya adalah elemen-elemen itu sendiri. Menurut dia, berbagai lembaga di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi, dan konflik. Seseorang menjadi warga masyarakat untuk mengalami proses individualisasi dan sosialisasi.
  9. Max Weber (1864-1920), menyatakan bahwa semua bentuk organisasi sosial harus diteliti menurut perilaku warganya, yang motivasinya serasi dengan harapan warga-warga lainnya. Juga menurut Weber, hukum yang rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern. Kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut adalah sistem kapitalisme dan profesi hukum.
  10. Alfred Vierkandt (1867-1953), menyatakan bahwa sosiologi menyoroti situasi-situasi mental. Situasi-situasi tersebut tak dapat dianalisis secara tersendiri, tapi merupakan hasil perilaku yang timbul sebagai akibat interaksi antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
  11. Leopold von Wiese (1876-1961), berpendapat bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan antarmanusia tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan maupun kaidah-kaidah.
Baca Selengkapnya

Senin, 06 Agustus 2012

Tokoh-tokoh Sosiologi Sebelum Comte

Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat mereka tentang sosiologi sebelum Auguste Comte. Auguste Comte dijadikan patokan karena dialah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi dan dialah yang membuat beberapa tokoh lain mengembangkan ilmu sosiologi. Berikut tokoh-tokoh sosiologi sebelum Comte.
  1. Plato (429-347 SM), seorang filusuf Romawi, menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya merupakan refleksi dari manusia perorangan. Suatu masyarakat akan mengalami kegoncangan.
  2. Aristoteles (384-322 SM), dalam bukunya Politics, Aristoteles mengadakan suatu analisis mendalam terhadap lembaga-lembaga politik dalam masyarakat. Pengertian politik digunakannya dalam arti luas mencakup juga berbagai masalah ekonomi dan sosial. Aristoteles menggarisbawahi kenyataan bahwa basis masyarakat adalah moral (etika dalam arti sempit).
  3. Ibnu Khaldun (1332-1406), mengemukakan beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan kejadian-kejadian sosial dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Prinsip-prinsip yang sama akan dapat dijumpaii bila ingin mengadakan analisis terhadap timbul tenggelamnya negara-negara. Gejala-gejala yang sama akan terlihat pada kehidupan masyarakat-masyarakat pengembara dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, klan, negara, dan sebagainya adalah rasa solidaritas. Faktor itulah yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama antar manusia.  
  4. Zaman Renaissance (1200-1600), seperti Thomas More dengan utopianya dan Campanella yang menulis City of the Sun. Mereka masih sangat terpengaruh oleh gagasan tentang adanya masyarakat yang ideal. N Machiavelli dengan bukunya Il Principle yang menganalisis bagaimana mempertahankan kekuasaan mengajarkan bahwa teori-teori politik dan sosial memusatkan perhatian mekanisme pemerintahan. 
  5. Hoobes (1588-1679), dengan bukunya yang berjudul The Leviathan. Dia beranggapan bahwa secara alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yang mekanis sehingga manusia sering berkelahi. Tapi mereka mempunyai pikiran bahwa hidup damai dan tenteram itu jauh lebih baik. Agar keadaan damai terpelihara, orang-orang harus sepenuhnya mematuhi pihak yang mempunyai wewenang. 
  6. John Locke (1632-1704), mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak asasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda. 
  7. J. J. Rousseau (1712-1778), berpendapat bahwa kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah menyebabkan tumbuhnya suatu kolektifitas yang mempunyai keinginan-keinginan sendiri, yaitu keinginan umum.Saint Simon (1760-1825)sia hendaknya dipelajari dalam kehidupan berkelompok. Dalam bukunya yang berjudul Memoirs sur la de l’Home, dia menyatakan bahwa ilmu politik merupakan suatu ilmu yang positif. 
  8. Sosiolo1853), adalah yang pertama kali memakai juga orang pertama yang membedakan antara ruang lingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Menurut Comte, ada 3 tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. 
    1. tif, yaitu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan oleh roh dewa-dewa atau Tuhan Yang Masa Kuasa. 
    2. Tahap mimana manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Pada tahap ini manusia masih terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terikat pada suatu realitas tertentu. Tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam. 
    3. Tahap ilmu pengetahuan positif, yaitu bila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Baca Selengkapnya